Pengusaha dan Founder CT Corp, Chairul Tanjung berbagi cerita soal pengalaman hidupnya dalam sebuah acara di Kamboja belum lama ini.
Dalam acara tersebut hadir 450 pemimpin dan komunitas muslim di Kamboja. Mereka yang hadir mulai dari anggota parlemen, senat, wakil Gubernur, pengusaha hingga elemen komunitas muslim.
Pria yang akrab disapa CT itu menjelaskan soal populasi muslim di Asia Tenggara yang terbilang cukup besar. Namun hingga kini belum bisa mendominasi daftar orang kaya dan memimpin di dunia usaha.
Dia juga menyebut lima musuh bersama masyarakat muslim yang menghambat perkembangan, yakni kurangnya pengetahuan, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, tidak ada rasa kepedulian, dan rasa malas.
Pendidikan jadi cara paling ampuh untuk mengubah nasib dalam hidup. Ini bisa membuat masyarakat mendapatkan akses informasi yang luas.
“Pendidikan merupakan keyword untuk mendapatkan akses informasi yang luas serta bisa berkompetisi. Madrasah pun harus bisa bersaing dengan top universitas,” kata Chairul dikutip dari Detik.com, Minggu (24/11/2024).
Hambatan orang juga datang dari mental miskin. Misalnya pasrah pada keadaan, menanti perubahan tanpa upaya, memilih menyerah untuk menghindari konflik, serta tidak peduli dengan detil kecil.
Chairul menegaskan seseorang harus berkaca apa yang sudah dilakukan hingga membuat miskin. Bisa saja karena belum bekerja lebih keras.
“Jadi kalau miskin jangan salahkan Tuhan, tapi salahkan dirimu sendiri karena mungkin kita belum bekerja lebih keras. Menyerah dan hindari konflik, itu memang budaya kita. Namun terkadang kita harus hadapi dan cari solusinya. Begitu pula kalau tidak menyentuh hal kecil, bagaimana bisa kita menjalankan hal besar. The devil is in the details, karena masalah akan muncul dari detail hal-hal kecil,” papar Chairul.
Selain itu, mental instan atau ingin mewujudkan sesuatu dengan cepat menjadi tantangan lainnya. Misalnya ingin cepat kaya namun dengan jalan yang salah, seperti korupsi hingga menyogok pihak lain.
CT menekankan soal paradigma Innovation, Creativity, dan Enterpreneurship (ICE) untuk mengubah nasib atau membuat sukses. Paradigma efisiensi dan produktivitas pernah berhasil dilakukan di Jepang serta Amerika Serikat (AS), namun ini juga tak cukup.
Perlu juga menjalankan inovasi, kreativitas dan visi enterpreneur. “Nah, untuk sampai titik itu (paradigma ICE-red.), dibutuhkanlah sumber daya manusia terbaik yang dihasilkan lewat pendidikan terbaik pula,” imbuhnya.
Masyarakat muslim juga dinilai berpotensi sukses bahkan menjadi macan Asia Tenggara. Modal populasi 253 juta jiwa perlu diiringi dengan bersatu, jangan sampai terpecah belah.
Konsep pembangunan bisnis ‘from us, by us, for us’ menjadi modal bagi masyarakat mulism. Bahkan bagi mereka yang minoritas seperti yang terjadi di Kamboja.
“Kolaborasi dengan memberdayakan jaringan komunitas muslim sangat penting, tak cuma melibatkan umat melainkan juga pemerintah, pengusaha atau pelaku bisnis serta ulama. Khusus soal ulama, saya juga berharap tak cuma memberi ceramah soal surga dan neraka tetapi juga bagaimana memberikan pemahaman serta dorongan agar umat bisa menjadi pengusaha. Karena dengan menjadi pengusaha bisa memberikan manfaat lebih besar kepada banyak orang. Toh, jadi pengusaha tidak melanggar ajaran agama kok, bahkan Nabi Muhammad SAW juga seorang pengusaha sejak muda,” ucapnya.