Kementerian Perdagangan (Kemendag) tak menampik soal terbukanya keran impor efek kerja sama kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement/ FTA) maupun kerja sama ekonomi komprehensif (comprehensive economic partnership agreement/ CEPA).
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan mengatakan, perjanjian dagang merupakan dua arah. Di samping Indonesia mendapatkan pasar ekspor baru, namun Indonesia juga memiliki konsekuensi membuka pasarnya terhadap produk impor dari negara yang bersepakat.
“Tapi perjanjian dagang itu dua arah kan. Di samping kita, misalnya dengan Uni Eropa nantinya mereka akan membuka pasar mereka untuk produk kita, tapi konsekuensinya kita juga harus dibuka pasarnya terhadap produk mereka. Ya memang itu konsekuensinya terhadap perjanjian dagang,” kata Bara dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024).
Meski begitu, Bara mengklaim perjanjian dagang yang terjadi sejauh ini menguntungkan bagi Indonesia. Karena membuka akses produk-produk Indonesia untuk bisa masuk ke pasar-pasar global.
“Tapi posisi kita bahwa tetap perjanjian dagang menguntungkan, karena membuka akses produk-produk Indonesia untuk masuk ke pasar-pasar tersebut. Itu benefit dari perjanjian dagang. Jadi pintar-pintarnya kita memanfaatkan perjanjian dagang untuk bisa membuka akses terhadap produk-produk ekspor kita,” ucapnya.
Buka Keran Impor Lebar-Lebar
Terpisah, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyoroti banyaknya perjanjian dagang antar negara yang berhasil diteken atau direvisi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun ia menilai tidak semua perjanjian dagang itu berdampak baik, justru sebaliknya. Alih-alih meningkatkan ekspor, katanya, ada perjanjian dagang yang justru membuka semakin lebar keran impor barang masuk ke Tanah Air.
“Perjanjian dagang berarti kan ada potensi yang baik. Nah kalau kita lihat memang secara umum kan positif ya perjanjian perdagangan, tetapi masalahnya adalah perjanjian perdagangan yang ada ternyata tidak serta-merta menambah volume dan nilai ekspor. Karena kalah dengan situasi ekonomi global,” kata Tauhid.
“Jadi oke kita perjanjian perdagangan, tapi konsumsi tujuan negara ekspor kita lagi turun nih, misalnya ke China. Tetapi ternyata kan ekspor China ke kita semakin tinggi, sementara ekspor kita ke China jauh lebih rendah, kita defisit,” sambungnya.
Ia menilai, perjanjian dagang baru bisa dikatakan baik, bilamana perjanjian dagang itu memberikan keuntungan dan/atau surplus bagi Indonesia. Jadi menurutnya, tidak serta merta hanya melihat berapa banyak perjanjian dagang yang berhasil diteken atau direvisi.
“Tren perdagangan kita saat ini kan pertumbuhan perdagangannya (ekspor) menurun, tapi impornya naik. Itu yang harus dilihat sih. Jadi bukan karena perjanjian perdagangannya, tapi dari potensi ekonomi yang lagi terjadi di masing-masing negara. Nah kalau kita selama 10 tahun terakhir mungkin ada 20 atau 30 perjanjian dagang, kalau masing-masing negara kita surplus, baru itu bisa dikatakan refleksi dari komponen perdagangan,” jelasnya.