
Pagi itu, sebuah kafe kecil di Berlin dipenuhi aroma kopi yang menenangkan. Di sudut ruangan, seorang mahasiswa tampak asyik menatap layar ponselnya. Tiba-tiba, sebuah berita muncul di feed media sosialnya: vaksin COVID-19 diklaim berbahaya.
Tanpa konfirmasi resmi, pesan itu langsung ia bagikan ke teman-temannya. Dalam hitungan menit, kabar itu menjalar ke grup WhatsApp, memicu gelombang kecemasan yang tak kasatmata, seperti virus digital yang menyusup tanpa permisi.
Ribuan kilometer jauhnya, di Tokyo, seorang ibu menahan tangis ketika anaknya menolak vaksin setelah membaca rumor di internet. Di Brasil, petugas kesehatan berjuang keras melawan kabar bohong yang lebih cepat menyebar dibandingkan informasi resmi. Seolah dunia kini menghadapi dua pandemi sekaligus: satu di tubuh manusia, satu lagi di ruang digital.
Inilah wajah era digital, informasi menembus batas negara, melintasi zona waktu, dan menggulung generasi tanpa henti. Media sosial, aplikasi pesan instan, dan portal daring membuat berita berlari secepat cahaya. Namun, di balik kecepatan itu tersimpan bahaya “hoaks” atau kabar yang menyesatkan dan mampu mengubah keputusan penting, bahkan menyangkut hidup atau mati.
Pandemi COVID-19 memperlihatkan dampak paling nyata. Hoaks tentang obat, vaksin, hingga protokol kesehatan beredar luas, mengacaukan opini publik dari Eropa hingga Amerika Latin. Di Ukraina dan Rusia, propaganda digital bahkan menggeser arah politik dunia. Semua ini mengingatkan kita pada satu hal penting bahwa kebenaran kini menjadi barang langka, rapuh, dan mudah diretas oleh kepentingan sesaat.
Jurnalisme berbasis verifikasi pun tampil sebagai benteng utama. Di tengah laju kabar yang tak terbendung, pers berperan sebagai mercusuar, menuntun masyarakat agar tetap berpijak pada fakta, menahan arus tipuan digital yang melaju lebih cepat dari kemampuan kita memeriksanya.
Tantangan
Suasana aula Gedung Pemerintahan Kota (Pemkot) Mataram siang itu riuh oleh suara laptop dan ponsel. Puluhan peserta bimbingan teknis (bimtek) literasi keamanan siber duduk serius, menatap layar, mencatat setiap arahan narasumber. Di tengah derasnya arus informasi digital, forum ini ibarat benteng kecil yang melindungi warga dari gelombang hoaks.
Di Indonesia, hoaks tak lagi pandang bulu. Politik, kesehatan, pangan, hingga bencana alam menjadi sasaran empuk. Menurut Kementerian Komunikasi dan Digital, ribuan konten palsu muncul setiap tahun, menimbulkan keresahan sosial, memicu konflik horisontal, bahkan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi.
Nusa Tenggara Barat (NTB), yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata, ternyata juga berada di garis depan pertempuran digital. Deputi Koordinasi Komunikasi dan Informasi Kemenko Polkam, Marsda TNI Ekodono Indarto, menegaskan bahwa aktivitas digital NTB termasuk yang tertinggi di Indonesia bagian tengah.
“NTB bukan hanya pusat pertumbuhan ekonomi. Wilayah ini juga benteng kedaulatan digital nasional,” ujarnya tegas dalam bimtek literasi keamanan siber, 11 September 2025.
Marsda Ekodono mengingatkan bahwa hoaks bukan sekadar kabar salah, melainkan ancaman serius. Menurutnya, melindungi data pribadi, keluarga, dan lingkungan adalah kunci. “Jika dipahami dengan baik, kebocoran data bisa dicegah demi keamanan nasional,” katanya sembari menyampaikan amanat Presiden Prabowo Subianto tentang pentingnya tata kelola digital yang transparan dan efektif.
Para peserta menyimak serius. Ada Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik BSSN, Brigjen TNI Berty BW Sumakud; Dirjen Komunikasi Publik dan Media Kemenkomdigi, Dimas Aditya Nugraha; serta Penyidik Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Gani F. Siahaan. Diskusi menjadi hangat, mencampur perspektif keamanan, teknologi, hingga hukum.
Brigjen Berty mengingatkan bahaya yang sering dianggap remeh. “Kita sering tanpa sadar membagikan data pribadi lewat platform belanja online. Bahkan ukuran baju atau alamat rumah bisa dimanfaatkan orang yang salah,” ujarnya. Ruangan pun hening, para peserta merenung betapa rentannya hidup mereka di ruang digital.
Dimas Aditya menambahkan “Hari ini, lupa handphone lebih mengganggu daripada lupa dompet. Semua data ada di ponsel. Anak-anak pun sudah menggenggam gawai, dan di situlah peran keluarga untuk mengawasi sejak dini.”
Sementara Gani F. Siahaan menyoroti sisi hukum. Ia menjelaskan konsekuensi dari ujaran kebencian, perjudian online, hingga penyebaran konten negatif. “Literasi digital bukan hanya soal menyaring informasi, tetapi juga memahami konsekuensi hukum dari perilaku online,” tegasnya.
Peserta pun tak hanya dijejali teori. Mereka diajak membedah kasus nyata seperti hoaks gempa Lombok 2018, isu penembak jitu Mataram 2025, hingga kabar obat cacing yang diklaim memicu hepatitis. Setiap cerita menghadirkan kesadaran baru, bahwa hoaks bukan sesuatu yang jauh, melainkan hadir di depan mata.
Di akhir sesi, seorang peserta, Ibu Sari, tersenyum lega. “Sekarang saya lebih paham cara memeriksa informasi dan melindungi data keluarga. Rasanya seperti dapat pelindung di dunia maya,” katanya. Aula pun hangat, seolah setiap orang pulang membawa sepotong perisai digital.
Di sebuah warung kopi di Mataram, Pak Akbar pernah cemas ketika menerima kabar ada penembak jitu di kotanya. Ia hampir menolak keluar rumah. Padahal kabar itu tidak benar. Inilah wajah hoaks yang menakutkan, cepat, dan sulit dibendung.
Sejak gempa Lombok 2018, NTB sudah akrab dengan badai informasi palsu. Saat itu, beredar kabar bantuan tak sampai, jumlah korban dilebih-lebihkan. Relawan dan aparat pemerintah bekerja keras meluruskan fakta agar warga tetap tenang.
Saat Pemilu 2019, giliran hoaks politik mengambil panggung. Klaim kemenangan palsu, isu penundaan pemilu, hingga survei abal-abal meramaikan jagat digital. Hal ini membuat warga kadang bingung, mana yang salah dan benar.